KOMPAS.com - Mengenakan baju seragam, Dewi Utari (15) melahap makanan yang dihidangkan di rumah dinas Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat (21/10/2011). Ditemani Yuliati (41), ibu kandungnya, dia terus mengumbar senyum yang memancarkan kebahagiaan di tengah kegetiran hidup.
Sekarang Dewi senang sekali soalnya mendapat beasiswa. Jadi tak perlu khawatir putus sekolah. Sebelumnya ia masih takut tidak ada biaya karena bapak sakit. Kalimat ini diucapkan Dewi sesaat setelah menerima beasiswa.
Saking senangnya, pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 6 Kota Surabaya ini tak ingin membuka amplop tertutup berisi beasiswa itu. Ia langsung menyimpan di dalam tas dan baru berencana membukanya setiba di rumah.
Sembilan tahun sudah ayah Dewi, yakni Tejo, menderita sakit akibat jatuh dari lantai 10 saat menjadi kuli bangunan. Sejak saat itu pula Yuliati harus membanting tulang menghidupi keluarga. Dengan latar belakang pendidikan hanya lulus sekolah dasar, Yuliati sangat bersyukur ketika diterima sebagai pasukan kuning alias tukang sapu jalanan di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya.
Dengan honor Rp 35.000 per hari, Yuliati harus menanggung biaya pengobatan suaminya, biaya sekolah Dewi, dan biaya hidup sehari-hari keluarganya. Jangankan menabung, tidak berutang saja sudah bagus, apalagi ia juga harus mengurus mertuanya, yang juga tanpa penghasilan.
”Untuk biaya sekolah Dewi, setiap bulan habis Rp 700.000. Uang itu untuk bayar praktik, beli buku, dan transpor setiap hari. Ditambah biaya pengobatan bapaknya. Rasanya berat sekali. Enggak tahu apa anak saya bisa sampai lulus atau tidak,” kata Yuliati dengan nada lirih.
Beban hidup yang terlalu berat membuat Yuliati pesimistis mampu mengantarkan anaknya hingga tamat sekolah, apalagi harga kebutuhan pokok, seperti beras, juga terus melambung. Kenaikan harga bahan pokok ini seolah tidak berhenti menghantui keluarga miskin seperti Yuliati.
Tidak jauh dari keluarga Yuliati, ada keluarga Winoto (37). Anggota pasukan kuning yang bertugas membersihkan selokan dan sungai di kawasan Kenjeran, Surabaya, ini tengah memikirkan nasib Sinta (11), putri bungsu dari tiga bersaudara yang saat ini duduk di bangku kelas V.
”Saya pengin menjadi dokter biar uangnya banyak. Nanti juga bisa bantu bapak menyekolahkan adik. Pokoknya akan belajar biar pintar,” kata Sinta kalem tetapi tegas.
Keinginan Sinta untuk menjadi dokter itulah yang membebani pikiran Winoto. Kendati penderitaannya tak separah Yuliati yang menanggung pengobatan suaminya, kondisi keluarga yang tinggal di Kelurahan Kapas Madya ini tidak jauh berbeda.
Dengan tiga anak serta kondisi istri tidak bekerja dan hidup menumpang di rumah orangtua bersama dengan saudara yang lain, sangat sulit bagi Winoto mengatur keuangannya.
”Mungkin sekarang masih cukup karena Sinta masih SD. Sekolahnya gratis. Namun nanti kalau sudah lepas SMP, ya tidak tahu lagi. Kalau harus bayar, dengan penghasilan tetap seperti ini, ya tidak tahu,” ujarnya.
Beasiswa pendidikan bagi Winoto bukan barang baru. Meski belum pernah mendapatkannya, ia sudah memimpikan itu sejak anaknya masuk sekolah. Alasannya, walaupun tidak menggugurkan kewajibannya membiayai sekolah Sinta, setidaknya beasiswa bisa meringankan bebannya, apalagi dua adik Sinta sudah menanti untuk bersekolah.
Yuliati dan Winoto adalah segelintir roman dari keluarga ribuan anggota pasukan kuning yang setiap hari membuat Kota Surabaya bersih. Meski hanya tukang sapu jalanan, mereka berkeinginan kuat generasi penerusnya kelak bersekolah hingga ke jenjang pendidikan tinggi, apalagi bisa meraih cita-cita yang diimpikan.
Pendidikan itu menjadi penting karena hanya itu jalan satu- satunya untuk mengubah nasib menjadi lebih baik. Apa daya, pendidikan di negeri ini tak gratis sekalipun sudah digratiskan oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Biaya untuk kebutuhan pribadi tetap dibutuhkan dan jumlahnya tak sedikit. Nilai itu menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi keluarga pasukan kuning yang berpenghasilan sangat minim.
Jangankan mengurus pendidikan, hidup layak saja susah. Oleh karena itu, mustahil rasanya mewujudkan mimpi mereka tanpa bantuan dari pihak lain, apalagi mengandalkan pemerintah daerah yang anggarannya sangat terbatas karena harus dibagi dengan pos-pos lain.
Merangkul pengusaha
Menyadari hal itu, Pemkot Surabaya merangkul swasta untuk berperan dalam pembangunan Kota Surabaya melalui bidang pendidikan. Cara yang ditempuh dengan memberikan beasiswa bagi keluarga pasukan kuning ini.
Meski sifatnya gratis, beasiswa ini menuntut siswa berprestasi. Donatur tidak segan menghentikan beasiswa jika di kemudian hari prestasinya merosot.
Tuntutan prestasi sebagai timbal balik ini menjadi penting untuk menggugah kesadaran masyarakat dan menumbuhkan rasa tanggung jawab. Konsep ini juga bisa menghindarkan praktik penyalahgunaan beasiswa karena tidak dianggap sebagai barang hibah semata.
Sebuah perusahaan swasta, PT Mataram Paint, membagikan beasiswa kepada 60 pelajar, anak-anak dari pasukan kuning. Pemberian ini adalah salah satu wujud syukur atas perayaan ulang tahun ke-60 pada 2011 sekaligus memelopori peran serta swasta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Beasiswa diberikan kepada pelajar SD, SMP, hingga SMA. Penyerahan dilakukan di rumah dinas Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di Jalan Sedap Malam, Kota Surabaya.
Nilai beasiswa bervariasi, mulai Rp 500.000 per semester untuk siswa SD dan Rp 1 juta per semester untuk pelajar SMP dan SMA. Beasiswa untuk pelajar SD akan diberikan selama empat kali pada setiap awal semester, sedangkan beasiswa untuk pelajar SMP dan SMA hanya dua kali atau dua semester.
”Beasiswa akan dilanjutkan apabila prestasinya bagus. Penerima beasiswa wajib menyerahkan rapor nilai akademik ataupun nonakademik setiap semesternya,” ujar Managing Director PT Mataram Paint Freddy Pankey.
Wali Kota Surabaya berharap pemberian beasiswa oleh swasta bertambah. Beasiswa membuat anak pasukan kuning bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, apalagi generasi ini ingin meraih mimpi hidup lebih baik dan bukan cuma sebagai pasukan kuning.
Sumber :Kompas Cetak