Dasar perubahan lainnya adalah bahwa UMS sebagai salah satu perguruan tinggi yang bereputasi selalu memiliki dan menyelenggarakan pendidikan yang berbasis pada keunggulan sebagai keunikan dan jati diri pendidikan tinggi di UMS. Semangat perubahan itulah yang senantiasa menginspirasi dan menjadi jati diri dan ciri penyelenggaran pembelajaran.
Tahap awal penyusunan perubahan kurikulum telah dimulai melalui penetapan profil lulusan UMS. Tahap ini digunakan sebagai dasar untuk menetapkan dan merumuskan capaian pembelajaran, identifikasi bahan kajian, penentuan blok mata kuliah, penetapan besarnya SKS, baru kemudian penetapan struktur kurikulum secara utuh yang di dalamnya terdapat nama-nama mata kuliah.
Dalam kaitan dengan desain kurikulum sebagai jati diri UMS, sesungguhnya disusun dengan semangat yang mendasari diberlakukannya Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) oleh pemerintah melalui Perpres No 8 Tahun 2012.
Ada tiga bidang penting yang diatur dalam ketentuan umum KKNI tersebut, yaitu bidang pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Satu di antara ketiganya yang merupakan pilar sangat penting dalam kerangka perwujudan kompetensi seseorang (mahasiswa) adalah bidang pendidikan. Bidang pendidikan merupakan salah satu pengendali terhadap dua bidang lainnya, meskipun ketiganya merupakan satu kesatuan kualifikasi kompetensi.
Untuk mewujudkan kualifikasi kompetensi itulah, kemudian perlu ditetapkan capaian pembelajaran (learning outcomes). Yang dimaksud dengan capaian pembelajaran adalah kemampuan yang diperoleh melalui internalisasi pengetahuan, sikap, keterampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja. Internalisasi lima ranah tersebut belumlah cukup dan memadai. Karena itu, diperlukan tiga aspek pengembangan lainnya, yaitu sentuhan aspek kreativitas, seni, dan etik.
Profesional
Salah satu bentuk adalah langkah dan kebijakan yang telah dilakukan FKIP UMS untuk menyiapkan sebagai calon tenaga pendidik yang profesional. Calon guru perlu digarisbawahi, sebab sesuai dengan amanah UU Guru Dosen No 14 Tahun 2005, dinyatakan bahwa untuk menjadi seorang guru masih diperlukan satu level lagi, yaitu level 7 yang dinamakan sebagai level pendidikan profesi. Suatu lembaga yang dibentuk setelah level 6 atau tingkat sarjana pendidikan.
Yang krusial adalah, untuk bisa masuk ke level 7 dapat berasal dari tamatan yang berlatar belakang sarjana pendidikan dan/atau sarjana lainnya. Dalam klausul ini menjadi bahan perdebatan panjang, sebab bagaimana mungkin untuk menjadi guru hanya melewati satu level penjenjangan, yakni langsung ke level 7 yang berarti mengabaikan peminatan sejak awal. Ataukah, untuk menjadi guru yang baik memang harus sudah didesain sejak awal, yaitu sejak level 2 atau sejak masuk ke prodi S-1/D-1.
Untuk bisa menjadi sosok guru yang bertugas sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah adalah yang memang disiapkan sejak awal, yakni sejak seleksi masuk level 2 alias sejak pendidikan S-1 harus dari sarjana yang berlatar belakang pendidikan.
Alasan rasionalnya, bahwa untuk dapat melaksanakan tugas-tugas keprofesionalan guru dalam merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran membutuhkan proses panjang. Perlu persiapan, pematangan, minat, dan pengabdian melalui proses internalisasi yang tidak bisa disiapkan secara instan.
Salah satu upaya yang dirancang dan dilakukan FKIP UMS adalah menerapkannya Mata Kuliah Magang pada jenjang pendidikan sarjana. Melalui magang inilah diharapkan dapat menyiapkan sarjana pendidikan S-1 yang bukan saja cakap dalam berilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki landasan jati diri sebagai pendidik yang siap ditempatkan di mana dan kapan saja. (37)