JAKARTA - Sistem pendidikan di Indonesia kembali membawa korban. Target kelulusan dalam ujian nasional yang ditempatkan sebagai evaluasi mutlak mutu peserta didik maupun penyelenggara pendidikan, berujung pada praktik-praktik kecurangan. Ironisnya, kecurangan itu terjadi di tingkat sekolah dasar.
Salah seorang wali murid sekolah dasar negeri buka suara dan melapor kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak ihwal kasus ini. Pasalnya, sang anak yang berinisial MAB, harus menanggung konsekuensi negatif secara psikologis, akibat praktik kecurangan dalam ujian nasional yang diberlakukan oleh SDN 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta Selatan, tempat ia belajar.
”Usai menjalani ujian nasional di hari pertama, anak saya pulang dalam kondisi tidak seperti biasanya, dia lebih banyak diam, saat saya tanya kenapa, ia tidak mau menjelaskan, tiba-tiba dia mengeluhkan sakit di dadanya," ungkap Irma Lubis, ibu kandung MAB dalam keterangannya kepada sejumlah wartawan di Komnas Perlindungan Anak, Sabtu (28/5/2011).
"Setelah saya paksa, dia mengaku telah dipaksa oleh guru-guru di sekolahnya untuk membuat kesepakatan tolol tentang ujian nasional,” imbuhnya dengan mata berkaca-kaa.
Berdasarkan keterangan sang anak, Irma menceritakan, di sekolah MAB, anak-anak yang punya kemampuan intelektual baik dikumpulkan dan dibagi dalam kelompok-kelompok oleh para guru di sekolah tersebut. Anak-anak ini kemudian diajak bersepakat untuk mau memberikan jawaban kepada teman-teman mereka saat ujian nasional berlangsung, melalui media telepon genggam.
Kesepakatan ini tidak boleh sampai bocor kepada siapa pun, termasuk kepada orangtua mereka sendiri. Agar tampak resmi, kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah kertas dan ditandatangani oleh anak-anak.
”Anak saya enggak kuat. Dia tidak mau ikut kesepakatan itu. Waktu dia menolak mengoper jawaban pada temannya, dia diingatkan kembali oleh temannya akan kesepakatan itu,” katanya. ”Para pengawas pun kata dia hanya diam saja dan membiarkan teman-temannya menggunakan handphone.”
Atas tindakan pihak sekolah ini, Irma mengaku telah menempuh jalur-jalur yang semestinya. Dia telah mendatangi pihak sekolah dan meminta pengakuan atas adanya kesepakatan tersebut. Dia juga telah mengantarkan puteranya, MAB, untuk mencabut kesepakatan yang telah dibuat.
Namun, hingga hari ketiga ujian nasional berlangsung, menurutnya tidak ada itikad baik dari pihak sekolah untuk mengakui tindak kecurangan ini di muka umum. Hanya beberapa guru yang ditemuinya, kata Irma, mau mengakui sambil menangis.
”Hanya beberapa guru di hari ketiga akhirnya mengakui dan menangis, namun mereka tidak menyangka akan sampai sejauh ini, saya kecewa tidak ada itikad baik dari pihak sekolah, ujar Irma.
”Kepala sekolah juga tidak bisa ditemui. Yang saya sedih, kesepakatan jahat itu menjadi begitu kuat melekat di ingatan anak saya,” katanya lagi.